Pro-Kontra RSBI dan Manajemennya

 Program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) atau sering juga disebut SBI sering menimbulkan pro-kontra. Kepala Dinas Pendidikan Kota Padang Bambang Sutrisno mengatakan, penyelenggaraan RSBI merupakan tuntutan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta pelaksanaannya juga diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009. Pentingnya RSBI adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang merata secara internasional.Kalau untuk meningkatkan kualitas pendidikan, itulah adalah bagus. Tapi, belakangan ini, SBI sering disorot tajam karena adanya fenomena besaran dana yang dikutip terhadap siswa. Bahkan di balik dana itu, beberapa pakar pendidikan dari Sumatera Barat, seperti Prof Jamaris Jamna dan Prof Muhammad Zaim, seperti dikutip sebuah koran terbitan Sumbar pada Jumat (8 Juli 2011), menilai, RSBI yang ada di Kota Padang belum berkontribusi banyak untuk peningkatan kualitas pendidikan.

Terus, kalau begitu, pertanyaannya, untuk apa RSBI itu diadakan? Mengapa kejanggalan antara harapan dan kenyataan itu terjadi? Bagaimana solusi yang tepat untuk masalah itu? Untuk menjawab persoalan itu, agaknya penting kita telisik dulu secara mendalam hakikat RSBI/SBI tersebut. Memang, tak bisa kita pungkiri, program RSBI ini sejalan dengan amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pada pasal 50 ayat 3 disebutkan, pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.

Di antara maksud dikembangkannya SBI tersebut adalah untuk menjawab tantangan global. Sebagai implikasinya, SBI harus bersedia mengikuti perubahan bidang pengetahuan dan teknologi. Pada tahap rintisannya, guru-guru matematika, science serta bahasa Inggris mendapat prioritas pertama untuk melakukan upaya meningkatkan diri, misalnya menyusun silabus, rencana pembelajaran maupun bahan ajar dalam bahasa Inggris.

Sekarang, sampai saat usianya 5 tahun, wacana dan praksis program SBI tersebut tampak makin ramai dibicarakan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Namun, sampai kini pula, wacana dan praksis program SBI tersebut terus menimbulkan sejumlah persoalan, di antaranya tentang bagaimana proses manajemen pendidikannya agar program itu bisa lebih optimal.

Secara sederhana, SBI berarti bahwa beberapa mata pelajaran diajarkan dengan bahasa Inggris. Misalnya, matematika diterangkan oleh guru dengan bahasa Inggris dan siswa pun jika mau bertanya harus dengan bahasa Inggris. Namun, di sini ada guyonan bahwa SBI itu singkatan dari ‘Sekolah Berbahasa Inggris’. Beberapa SMP di Solo dan sekitarnya sudah mulai berproses menjadi ‘Sekolah Berbahasa Inggris’. Substansi atau hakekat SBI itu sendiri tidak tercapai.

Dalam dirinya sendiri, SBI itu baik. Tapi dalam praktiknya, tampaknya akan terganjal beberapa kendala. Kita tahu anak sekolah sekarang ini bebannya banyak sekali. Lihat saja buku-buku mereka, tebal-tebal dan isinya canggih. Namun dengan materi menggunung yang harus diserap ditambah PR-PR yang senantiasa mengalir, beban anak sekolah sekarang melebihi beban anak sekolah zaman dulu.

Melihat beban materi pelajaran yang melampaui batas kemampuan anak untuk mencernanya, tuntutan tambahan belajar bahasa Inggris untuk memahami mata-mata pelajaran lain adalah tidak logis dan merupakan pemaksaan mental. Saya tidak tahu apakah yang mencanangkan SBI itu paham bahwa bahasa Inggris sebagai mata pelajaran saja sudah cukup membebani. Nah, dalam SBI, bahasa Inggris harus juga dijadikan sarana memahami mata pelajaran lain. Ini sungguh berat. Jika hal itu diterapkan pada anak yang sejak semula sudah bilingual (salah satu orangtuanya berasal dari negeri berbahasa Inggris dan bahasa Inggris sejak dini sudah dipakai berkomunikasi di rumah, berbarengan dengan bahasa Indonesia), itu masuk akal. Namun kita tahu, sebagian besar anak sekolah kita tidaklah bilingual. Bahkan beberapa mata pelajaran sukar dicerna oleh siswa walaupun itu diterangkan dengan bahasa Indonesia. Apalagi jika itu diterangkan dengan bahasa Inggris! Ibaratnya, beban yang harus dipikul oleh siswa menjadi dua kali lipat alias ganda.

Itu dari segi siswa. Bagaimana dari segi guru? Apakah guru-guru mata pelajaran selain bahasa Inggris mampu dengan baik menerangkan mata pelajarannya dengan bahasa Inggris? Bagaimanapun, bahasa Inggris bukanlah bidang mereka. Waktu kuliah, mereka tidak mempelajari bahasa Inggris secara mendalam dan penuh. Sekarang, tiba-tiba, mereka harus berbicara bahasa Inggris. Ini tidak realistis. Guru pun memikul beban ganda.

Esensi SBI sebenarnya tidak sekadar kepiawaian pengelola dan stakeholder berbahasa Inggris, melainkan meliputi berbagai hal yang terkait dengan peningkatan sekolah menuju sekolah yang bertaraf global. Ini berarti SBI tidak semata-mata pandai berbahasa Inggris. Pemangku program SBI hendaknya mampu pula memberi motivasi kepada seluruh komponen yang ada pada satuan pendidikan tersebut. Tanpa motivasi yang kuat, baik internal maupun eksternal, program SBI akan menghadapi kendala yang tidak ringan.

Di sinilah pentingnya manajemen pendidikan. Apalagi jika mengingat bahwa program SBI memiliki korelasi erat dalam peningkatan kompetensi guru. Karena itu, bila saat ini sekolah didorong melaksanakan program SBI, tampaknya pengambil kebijakan patut merenungkan betapa pentingnya program manajemen pendidikan tersebut menuju SBI yang lebih optimal.

Ditinjau dari sisi manajemen pendidikan, untuk menuju ke arah SBI yang lebih optimal, perlu disadari pula, pengembangan sumber daya manusia (SDM), baik pendidik maupun tenaga kependidikan, penting mendapatkan prioritas utama. Di samping pemodernisasian sistem informasi manajemen pendidikan dengan information and comunication technology (ICT), maka tenaga guru yang disyaratkan pada standar akhir SBI selain minimal sarjana S-1. Mereka harus pula memiliki relevansi antara kemampuan dengan mata pelajaran yang diampu, memiliki sertifikasi profesi guru, memiliki kesanggupan kerja yang tinggi, mampu menggunakan ICT dalam mengajar, dan lulus TOEFL di atas 500.

Semua itu makin mengindikasikan bahwa ilmu manajemen pendidikan kian dibutuhkan. Karena itulah, bila bermaksud menciptakan SBI yang lebih optimal, berbagai pemikiran yang berkembang tentang bagaimana idealnya manajemen pendidikan perlu dipelajari dan dikaitkan dengan manajemen SBI. (*)

About boncelyawn

Lil' rock girl m/ Live my life ☮ View all posts by boncelyawn

Leave a comment